pahit
....Sampai
suatu saat aku memberanikan diri. Untuk pertama kali bertemu dengannya secara
langsung. Berdua. Mungkin akan lebih mengagumkan.
nyatanya.
Aku canggung, dan dia bingung.
aku tidak tau salahku dimana, yang jelas
aku tidak tau salahku dimana, yang jelas
sementara ini, kami menyudahi semuanya
Aku bertemu denganmu di saat yang benar-benar tidak
kurencanakan.
Ketika ada momen itu— kamu mengikat sekaligus membebaskanku. dengan segala kelemahan kita memilih berjuang melawan kegelisahan.
Selangkah demi selangkah—berjalan bersama secara sadar.
Pada akhirnya kita memang hanya terikat oleh seutas rasa percaya,
bahwa aku dan kamu—
akan saling menerima dan membalas perasaan sampai ‘nanti’
Ketika ada momen itu— kamu mengikat sekaligus membebaskanku. dengan segala kelemahan kita memilih berjuang melawan kegelisahan.
Selangkah demi selangkah—berjalan bersama secara sadar.
Pada akhirnya kita memang hanya terikat oleh seutas rasa percaya,
bahwa aku dan kamu—
akan saling menerima dan membalas perasaan sampai ‘nanti’
kita selalu bertaruh walau tahu di dunia ini tidak
ada yang pasti
dan akan ada saatnya kita kalah
ada kalanya dalam perjalanan manis ini,
ketika kita saling membelai,
justru terasa saling menampar—
dan akan ada saatnya kita kalah
ada kalanya dalam perjalanan manis ini,
ketika kita saling membelai,
justru terasa saling menampar—
dan ketika belaianku terasa seperti tamparan,
kamu selalu mencari belaian lain
belaian halus yang seakan mengerti dan memberimu
kepastian
tempat— dimana kamu selalu menjadi yang terkuat.
ketika yang dibutuhkan hanyalah keberanian menerima kelemahanmu sendiri
serta kejujuran
karena itu, sementara kamu ‘pergi’ aku akan tetap menemanimu dengan suratku
kadang ada pertanyaan yang muncul ketika kita
mengirim surat. apakah suratnya sudah terkirim? apakah suratnya sudah diterima?
bagaimana ekspressinya ketika menerima surat itu? dimana dia membacanya? bagaimana
perasaanya ketika sudah sampai di akhir surat?
apakah—surat kita akan dibalas? bagaimana dia
membalasnya?
apakah—kita akan tersenyum membaca balasan-nya?
apakah—kita akan tersenyum membaca balasan-nya?
“kenapa kamu penasaran sekali?” tanyamu sambil
menyilangkan kedua lengan
“...bukannya kalau udah dikasih berarti bukan urusan
kamu lagi ya? terserah dia mau apain surat kamu” lanjutmu.
“enggak gitu.. surat aku penting. walau memang
sangat sederhana, saking sederhananya sampai terasa ‘sulit’
Aku terdiam beberapa saat sambil menatapi jendela
dibelakang punggung milikmu
"..tapi kesulitan itu ada karena aku sungguh –
sungguh! selama ini aku menaruh harapan dan usahaku di surat itu.. jadi,
apa yang akan terjadi sama suratku masih
urusanku dong! Bener ga?”
Kamu tersenyum tipis
“hmmm..
...kamu berani ngasih dirimu sebesar itu untuk sesuatu.
bahkan untuk seseorang? kalau reaksi dia ga sesuai bayangan kamu gimana?”
Aku berfikir sejenak. mengambil nafas yang
setidaknya sementara menguatkan pikiran.
“kalau suratku kurang menghiburnya—aku kecewa.
ketika suratku dibacanya berulang-ulang—aku senang. Gitu aja. Perasaanku dan ekspektasiku akan sesedarhana surat itu”
ketika suratku dibacanya berulang-ulang—aku senang. Gitu aja. Perasaanku dan ekspektasiku akan sesedarhana surat itu”
“... yang adalah ga sesedarhana seperti yang
terlihat kan?”
potongmu.
potongmu.
“...surat penuh perasaan itu— apa dia janji akan selalu membalas suratmu?”
“iya, dia janji kok. Ga mungkin dia seenak jidat
pergi gitu aja. ikatan kami spesial— ga bisa digantikan orang lain
dan juga, kami punya mimpi yang hanya bisa dicapai
bersama. kami saling percaya sampai kadang orang lain ga ngerti”
“ok, aku ngerti”
“Bacot!”
Bisa – bisanya dengan tenang membuat orang lain
gelisah
“Emangnya salah ya kalau punya momen yang harus
diperjuangkan? Selama momenku ga ganggu momen orang lain, ga masalah kan?”
“iya ga ada yang salah kok. tapi—terkadang keinginan
aja gak cukup.
kadang keinginan harus dipindahkan ke arus lain terlebih dahulu sebelum bisa bertemu lagi di tempat yang kamu harapkan”
kadang keinginan harus dipindahkan ke arus lain terlebih dahulu sebelum bisa bertemu lagi di tempat yang kamu harapkan”
“bacot terus kaya fiersa besari”
“hehehehe”
“Suratnya— walau kadang menyakitkan dan tidak
seperti yang kubayangkan, dia selalu kembali membuatku tersenyum dan memaafkan.
Kadang aku juga jahat padanya, entah terlalu diam, berisik, atau sengaja
membalas dengan menyebalkan juga”
kami— saling melempar bising tapi juga saling
memberi kenangan, mungkin karena itu momen kami sangat manis karena kehadiran
kami untuk satu sama lain adalah nyata dan tulus.
untuk dia, keberadaanku membebaskan sekaligus mengikatnya.. seperti rumah.
aku percaya pasti ada yang disampaikan selama masih ada perasaan dan dia akan terus membalasku
untuk dia, keberadaanku membebaskan sekaligus mengikatnya.. seperti rumah.
aku percaya pasti ada yang disampaikan selama masih ada perasaan dan dia akan terus membalasku
“entah kamu terlalu tulus atau bodoh.. tapi rasanya
kamu cukup baik. semoga yang dia sampaikan pun bukan harapan kosong”
“kamu kenapasih? Kayak ga percaya sama orang. Jangan
nyerah dong”
“...kamu juga jangan sedih nanti”
“karena?”
“udah, nanti kamu juga ntar ngerti”
“bangsat deh”
kita akhirnya terdiam sejenak. diantara keresahan
percakapan kita, kamu menepuk punggung tanganku.
“gapapa.. hanya berusaha realistis. saya doakan kita
selalu ditemani momen manis”
tiap manusia boleh berdoa
tiap manusia boleh berharap
tiap manusia boleh berjuang
sayangnya, agar sebuah keinginan terkabul,
harus ada keinginan yang kalah
dan ada saatnya keinginanmu—yang kalah
tiap manusia boleh berharap
tiap manusia boleh berjuang
sayangnya, agar sebuah keinginan terkabul,
harus ada keinginan yang kalah
dan ada saatnya keinginanmu—yang kalah
pada saat itu.. saat segala usahamu seakan percuma,
saat kamu berharap berada di titik terjauh dari titikmu sekarang.
dia— membalas pesanmu
“Teruntuk,
My precious one...”
My precious one...”
saat rasa percaya kamu hilang dan digantikan rasa
lain..
saat itu, kamu sadar momen milikmu berkhianat. Mungkin saat itu tiba – tiba semua terasa dingin, kamu melambung—lalu jatuh berkali – kali.
atau mungkin saat itu ada tekanan hebat dari atas kepalamu yang membuat seluruh tubuhmu berat dan kelelahan.
saat itu, kamu sadar momen milikmu berkhianat. Mungkin saat itu tiba – tiba semua terasa dingin, kamu melambung—lalu jatuh berkali – kali.
atau mungkin saat itu ada tekanan hebat dari atas kepalamu yang membuat seluruh tubuhmu berat dan kelelahan.
namun—pijakanmu yang selami ini menopangmu telah musnah,
kamu kehilangan
atau mungkin muncul dentuman panas yang mengoyak hati dari dalam, memaksa ingin keluar untuk menghanyutkan semua.
kamu kehilangan
atau mungkin muncul dentuman panas yang mengoyak hati dari dalam, memaksa ingin keluar untuk menghanyutkan semua.
pada saat itu,
saat momenmu berkhianat.
kamu marah
saat momenmu berkhianat.
kamu marah
“kenapa? kamu menyesali terjadinya momen milikmu?”
“mau.. kalau bisa”
“bisa kok... sekarang marah dulu, ayo marah.
kamu berhak marah.. karena perjuanganmu sangat berharga. Jangan nyerah dulu”
kamu berhak marah.. karena perjuanganmu sangat berharga. Jangan nyerah dulu”
“Teruntuk
My precious one,
Sebenarnya selama ini aku...”
My precious one,
Sebenarnya selama ini aku...”
-Aku lelah bersamamu-
...sudah ya?
Ini salahku, tapi jika tidak mau kamu maafkan tak apa. yang penting aku sudah
jujur. Jadi, kamu jangan marah. aku sudah tidak mau kamu lagi
Setelah ini—
...
aku sudah tidak mau kamu lagi.
Sampai
jumpa”
“hei setelah ini.
setidaknya,
tidak ada yang akan mempermainkan kita lagi.. mungkin ini momen-nya—
momen pahit yang harus kamu lewati. ya?”
setidaknya,
tidak ada yang akan mempermainkan kita lagi.. mungkin ini momen-nya—
momen pahit yang harus kamu lewati. ya?”
“iya. terimakasih banyak.. atas semua semangatmu”
untuk teman yang menyesal karena terlalu berharap,
tetaplah melangkah.
karena ini bukan akhir. ini hanyalah perubahan.
karena ini bukan akhir. ini hanyalah perubahan.
Komentar
Posting Komentar